Thursday 12 September 2013

Cinta, kah?

Begadang.
Mengingat kata itu. Ingatanku. Mungkin kalian juga. Akan langsung tertuju pada sesosok lelaki paruh baya berwajah ramah, berjenggot lebat, ber-aura bijaksana dan bersenjatakan gitar tua. Hahaha, tidak. Aku tidak sedang ingin bercerita tentang sang raja dangdut yang beritanya sedang mengajukan diri jadi capres itu. Tidak. Tidak sekarang mungkin.

Bagiku. Yah, bagi kami. Siswa-siswa kelas 11 jurusan IPA yang sedang akrab-akrabnya dengan tugas. Begadang seakan menjadi nama tengah kami. Iya, begadang sudah menjadi teman akrab. Sekaligus pacar kami. Bahkan kami mungkin lebih akrab daripada sang raja dangdut dengan lagunya tersebut. Jadi, jangan bingung kalau saat ada waktu luang kami akan langsung tertidur lelap. Saat ini kami sudah seperti hewan nokturnal. Malam bekerja, Siang tidur. Rutinitas yang sangat menyebalkan.

Waktu sudah menunjukkan pukul 07.35. Tapi suasana masih seperti pukul 5 pagi. Gelap. Dingin. Aku mengintip kearah jendela. Ternyata bukan kami saja yang kelelahan akan rutinitas kami. Bahkan matahari saja enggan menampakkan dirinya dihari minggu yang memang paling enak buat tidur seperti ini. Tuhan seakan memberi kami kesempatan untuk beristirahat sejenak. Sebelum harus bertempur dengan tugas tugas lain di kemudian hari.

Baru memejamkan mata untuk menjalankan 'jatah tidur' yang mungkin hanya satu-dua jam. Aku dikejutkan oleh gemuruh yang entah darimana. Kulihat, hujan mulai mengalir jatuh perlahan mengaliri jendelaku. Yah, hujan lagi, pikirku. Aku benci momen momen seperti ini. Tapi aku juga mencintainya. Kadang, memang benar. Hal yang paling kita benci, juga hal yang akan paling kita rindukan. Setidaknya, begitulah menurutku.

Aku masih disini. Duduk sendiri dikamar yang gelap gulita. Hanya satu cahaya yang terlihat. Layar komputer yang sejak tadi malam membantuku menyelesaikan tugas tugasku. Andai dia manusia. Mungkin sudah kujadikan istriku, saking setianya.
Aku menatap kosong kearah layar ponselku yang ternyata masih sedikitpun tak menunjukan tanda tanda kehidupannya, sejak. Ah sudahlah. Aku tidak ingin membahas itu.
Disebelah komputer, masih tegar berdiri. Secangkir kopi yang entah sejak kapan sudah tak ada isinya. Iya, dia sendiri. Sepertiku.

Suasana-suasana seperti ini. Mengingatkanku akan kebiasaan lamaku. Iya, aku punya sebuah kebiasaan. Mungkin kebiasaan aneh. Setiap kali hujan datang. Aku akan keluar rumah, membiarkan rintiknya mengalir lembut diwajahku. Dan. Disinilah ritualku dimulai. Aku akan mulai, berbicara, pada diriku sendiri.
Aneh? Untuk remaja 16 tahun. Mungkin iya. Tapi ya itulah, orang orang punya kebiasaan masing masing kan?

Terbersit sedikit keinginan untuk melakukannya lagi. Aku memang butuh hujan. Tapi seketika pikiranku langsung menyangkalnya. Aku tak boleh sakit dan ketinggalan pelajaran. Begitulah kira kira katanya.

Tapi rintik lembutnya terus merayuku.
Dan sudah kuduga, hatiku seperti biasa, punya keinginan lain daripada pikiranku.
Aku butuh bercerita.
Aku butuh pelampiasan.
Aku butuh, hujan.
Begitulah katanya.

Tak buang buang waktu lagi. Aku mulai beranjak dari kursiku. Keluar, dan memasuki tirai hujan pagi. Ah, iya, Rumahku punya pagar yang tinggi. Jadi tak ada seorangpun yang melihat kebiasaan anehku. Keadaan yang sangat kusyukuri.

Hujan kali ini. Persis seperti hujan hujan yang lain. Dan seperti biasa, ada sebuah perasaan yang aku tau itu akan muncul. Yah. Akhirnya datang juga, pikirku. Seseorang dari pikiranku yang bahkan aku tak tau dia siapa. Seperti biasa, Ia selalu memulai perbincangan terlebih dahulu. Dan kali ini ia memulainya dengan bertanya. Bertanya tanya.

"Kenapa (dirimu) sejauh itu dariku?"

"Kenapa (dirimu) sejauh itu terhadapku?"

"Kenapa (dirimu) sejauh itu berlari melupakanku?"

Ia terdiam sejenak. Tak bisa melanjutkan pertanyaannya.
Mungkin memang hanya itu yang sanggup iya keluarkan. 

Belum sempat aku memikirkan jawabnya. Sesuatu yang lain langsung mulai berbicara. Dia juga datang. Ya, kali ini, sesuatu dari hatiku yang entah apa itu yang menjawabnya.

"Mungkin"

"Tak ada lagi cinta diantara kita."

"Sekarang. Kita. Bukanlah kita.
Kita. Telah kehilangan cintanya.
Tak ada lagi cinta.
Tak ada lagi kita.
Tanpa cinta. Kita, Hanyalah aku, dan kamu."

Sesuai dugaanku.  Pikiranku selalu tak sesuai hatiku.
Pikiranku menyangkalnya.
Pikiranku tak menerimanya.
Pikiranku kembali bertanya.

"Begitukah?"

"Benarkah?"

"Kenyataankah?"

Hatiku menjawab dengan tegas.

"Itulah cinta. Cukup dengan melihat (dirimu) bahagia. Walaupun itu dengannya."

Sekali lagi. Pikiranku tak bisa mendusta.
Aku tak bisa menyembunyikannya.
Aku tak bisa menerimanya.
Pikiranku kembali bertanya.

"Inikah cinta?"

"Bukankah.
Cinta.
Adalah saat dimana kita berbahagia karenanya.
Saat kita saling menatap mata. Tak bersuara.
Hanya menatap mata.
Dan seolah tak ada lagi penghalang kita.
Sekalipun itu dunia?"

"Bukankah.
Cinta.
Adalah saat kita saling membahagiakan.
Saat kita tersenyum atas keharmonisan. 
Saat kita berusaha saling menyempurnakan?"

"Bukankah begitu?"

Hatiku tak dapat mengelak. Pikiranku benar. Ia benar.

Pikiranku bertanya lagi.

"Kalaupun cinta. Benarkah (dirimu) harus dengan dia?"

"Benarkah dengan dia?"

"Kenapa bukan aku saja?"

"Kenapa tak sedikitpun (dirimu) mau berbalik untuk melihat. Bahwa aku masih setia?"

"Kenapa?"

Sekali lagi. Hatiku terdiam. Tak menyetujuinya. Tapi tak bisa menyangkalnya.

Pikiranku kembali bertanya.

"Salahku kah ini?"

"Haruskah aku menyalahkan diriku?"

"Atau, ini kehendak dunia?"

"Salah keadaan?"

Hatiku hanya bisa terdiam. Dia tersudut. Pikiranku benar. Sangat benar.

Dengan perlahan, sesuatu dari dasar hatiku mulai berbicara.

"Mungkin benar. Semua yang telah dikatakan benar."

"Itu cinta. Juga ego"

"itu bukan cinta sesungguhnya. Cinta, adalah saat kita memikirkan dia. Bukan hanya untuk kita"

"Cinta itu tak harus memiliki."

"Cinta. Ialah saat ia bahagia. Dan aku bisa bahagia hanya dengan melihatnya bahagia"

"Mungkin. Sekarang. Bagiku."

"Cinta.
Adalah saat dimana aku bisa tetap menerima.
Tetap bahagia.
Disaat (dirimu) bersamanya. Disaat (dirimu) tersenyum. Karenanya.
Bersamanya.
Untuknya."

"Cinta.
Adalah saat aku membiarkan(mu) mencintainya.
Membiarkan(mu) bersamanya.
Membiarkan hatiku hancur tanpa sisa.
Membiarkanmu. Berbahagia."

"Cinta.
Adalah dimana aku, memberi segalanya.
Memberi, segala yang aku punya.
Tanpa mengharap, (dirimu) menerima.
Tanpa mengharap, (dirimu) membalas hal yang sama."

"Mungkin sekarang, bagiku, inilah cinta. Cintaku. Menurutku."

Seiringan dengan itu. Aku mulai membuka mataku. Tak kusadari. Air mata mengalir lembut dipipiku. Bersama beriringan dengan jatuhnya sisa sisa hujan. Hujan telah berhenti.
Begitu pula dengan hati dan pikiranku. Mereka lenyap. Seiringan dengan lenyapnya ragu itu.

Aku. Akan terus menunggumu, ucapku sambil menghapus tetes terkahir air mataku. Dan mulai berlalu. Menuju pilihan hatiku.

Bagikan

Jangan lewatkan

Cinta, kah?
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

Jangan lupa ngomen ya, tapi ngomennya jangan di lampu merah, entar di Razia SatPol PP. Ciao!