Monday 1 April 2019

Persfektif


Hampir setiap pembukaan dari beberapa post terakhir yang gue tulis selalu bermula dengan “Hai gaes, lama ngga nulis disini”. Yang berarti, sebenernya bukan gue yang ngepost telat dari seharusnya, tapi emang interval tiap post berjarak 5-6 bulan, sehingga selama ini sebenernya gue selalu ngepost tepat waktu. Sungguh persepsi yang bodoh, tapi ngga bisa dibilang salah juga. 

Berbicara masalah persepsi, kita ngga akan pernah lepas dari hal yang namanya perspektif. Persepsi muncul, terjadi, dan dihasilkan oleh yang namanya perspektif. Permasalahan inilah yang akan gue bahas di post kali ini. Yaa, topik yang sebenernya sangat amat jauh dan mustahil dibahas oleh seorang Nuka. Topik yang tabu tapi layak untuk diperbincangkan, semua akan dikupas secara tajam, setajam Silet. 

P.S: Jangan mengharapkan tulisan pintar yang berbobot ya, ini hanya bentuk perspektif bodoh gue tentang perspektif itu sendiri 




Jadi, 11 hari yang lalu, tepatnya 21 maret 2019 gue berulang tahun yang ke-22. Usia dimana kalian akan mulai berpikir tentang gimana biar cepet lulus, nanti bakal kerja apa, nikah sama siapa, dan gimana caranya nabung buat beliin istri Tupperware. Usia dimana orang tua kalian akan perlahan mengganti kalimat “Udah makan apa belum?” jadi “Makan mulu, kerja sana”. Usia dimana waktu luang dikala weekend menjadi sangat amat sungguh berharga. 

Di usia gue yang udah kepala 2 lebih 2 tahun 10 hari ini, gue masih berstatus sebagai mahasiswa semester tua. Masih di program studi matematika yang mematikan. Dan masih mencoba mengumpulkan niat untuk ngerjain skripsi yang menunggu disentuh oleh tangan dan pikiran si kampret pemalas ini. Selain berkuliah, gue juga akhirnya bekerja sebagai pegawai Humas a.k.a Buruh Grafis, Jurnalis, dan Fotografer di kampus tercinta gue, Universitas Lambung Mangkurat (ULM). Yaa, pekerjaan yang masih linear lah sama hobi gue sebagai Blogger Banjarmasin, yaitu nulis.

Menambahnya usia, perpindahan ke tahap akhir kuliah, dan bekerja, mulai perlahan merubah perspektif mahasiswa goblok ini. Ya, apa yang orang bilang tentang menjadi dewasa itu ngga asik, emang bener. Menjadi dewasa, membuat kalian memikirkan hal-hal yang dulu ngga pernah kalian pikirkan akan kepikiran. Menjadikan hal-hal sederhana, menjadi hal yang rumit karena butuh pandangan yang lebih luas. Menjadikan hal yang tabu, layak untuk diperbincangkan. Semua akan dikupas secara tajam, setajam Silet. #callback 

Sebagai contoh, waktu masih belasan tahun apa yang pengen kalian makan, ya akan kalian makan. Hambatan terbesar dalam jenis makanan kalian ya paling orang tua dan uang. Tapi, menginjak usia 20-30, kalian akan mulai concern sama yang namanya kesehatan dan penilaian orang lain, yang mengakibatkan kalian mulai harus mikirin berat badan, pola makan, jenis makanan, diet, olahraga dan segala tetek bengek penyiksaan diri berlandaskan takut, baik itu takut sakit, atau takut dinilai gendut sama orang lain. 

Itu dari segi kesehatan. Dari segi percintaan, Raditya Dika di bukunya yang berjudul ‘Cinta Brontosaurus’ pernah bilang. Kita nyebut cinta anak-anak yang polos dan apa adanya sebagai cinta monyet. Berarti cinta orang dewasa yang terlalu banyak pertimbangan kaya usia, kemapanan, keturunan, yang notabenenya lebih ribet dan jadul, mungkin bisa kita bilang sebagai cinta brontosaurus. 
Btw, kok tulisan gue gaya-gayanya kaya skripsi? 

Meskipun terkesan jelek, kalo kita pandang dengan persfektif yang berbeda, semua ketidak-asikan itu pun punya sisi baik. Let say, kesehatan. Atau biar lebih familiar, spesifiknya ke tampang/kecantikan aja deh. 

* Waktu bocah, kalian cuman tau aer kran doang buat cuci wajah. Tapi sekarang, kalian (mungkin) bakal abisin ratusan ribu, atau mungkin jutaan buat ngilangin sekadar jerawat dan komedo. Dilihat dari segi keuangan, ya parah. Tapi kalo dipikir-pikir, andai kalian tetep bertahan dengan pola pikir semasa kecil, ya mungkin kalian bakalan ngga punya banyak temen, ngga laku, dsb. So, kesadaran dan pemikirnya kalian itu pun sebenernya berguna. 

Eits, ngga cukup sampai situ, sehabis kalian merubah persfektif kalian tentang menjalani perubahan tadi. Dibalik pilihan itu pun ada persfektif lain yang sebenernya juga ngga kalah bagusnya kalo kalian jalani. Kembali ke *. Waktu bocah, kalian cuman tau aer kran doang buat cuci wajah. Tapi sekarang, kalian (mungkin) bakal abisin ratusan ribu, atau mungkin jutaan buat ngilangin sekadar jerawat dan komedo. Dilihat dari segi keuangan, ya parah. Tapi kalo dipikir-pikir, andai kalian tetep bertahan dengan pola pikir semasa kecil, ya mungkin kalian bakalan ngga punya banyak temen, dan ngga laku. Tapi, itu bagus. Setidaknya sedikitnya orang yang ada di sekitar kalian ini bener-bener temen sejati yang ngga memandang fisik. See? 

Kesimpulannya, ngga ada yang namanya pilihan buruk, pilihan salah, atau pilihan yang bodoh. Yang ada cuman pilihan, yang kita belum tau sisi baik atau hasil baiknya. Yang perlu kalian lakuin ya, cukup jalani dan lakuin yang terbaik yang kalian bisa. 

Kalo kalian baca tulisan ini sampai kalimat ini, gue ucapkan terima kasih banyak. Mungkin kalian bakal mikir, tulisan ini sungguh semrawut dan susah dimengerti. Ya, gue akui itu. Tapi, kalo diliat dari persfektif orang yang ngga bisa nulis sama sekali. Kayanya tulisan sepanjang ini, bagus-bagus aja kali ya? Ahaha. Ciao~ 



Tulisan ini diikutsertakan dalam:

Bagikan

Jangan lewatkan

Persfektif
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

Jangan lupa ngomen ya, tapi ngomennya jangan di lampu merah, entar di Razia SatPol PP. Ciao!