Sunyi.
Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan malam-malamku saat ini.
Saat ini. Saat ia sudah tak lagi ada disini.
Sepi.
Tak ada lagi canda tawa seperti biasanya. Tak ada lagi obrolan malam santai nan mesra. Tak ada lagi pesan-pesan singkat berisi kalimat cinta.
Sendiri.
Yang tersisa hanya aku. Dan dering telpon genggamku.
Salah.
Tunggu sebentar?
Dering telpon?
Mungkinkah ia?
Dengan rasa penasaran dan hati berharap, kubuka pesan tersebut.
"Sudah saatnya"
Hanya itu yang tertulis disana.
Aku tidak mengenal nomor si pengirim, pun maksud dibalik kalimat tersebut.
Rindu.
Mungkin itu yang menggerakkan jariku untuk terus menggeser kotak pesanku ke bawah, terus ke bawah, terus ke bawah.
Hingga aku menemukan obrolan dengan kontak bernama "Cinta".
Hati.
Pernah mendengar bunyi hati yang patah?
Kuharap belum, dan jangan pernah.
Tapi jika kau benar ingin tahu, mungkin bertemu denganku adalah cara terbaikmu.
Heran.
Melihat semua kenangan ini membuat aku berpikir. Bagaimana mungkin manusia bisa berubah secepat ini?
Ego.
Mungkin, itulah yang membuat kita seperti sekarang ini. Itulah yang memisahkan kita.
Itulah yang seharusnya disalahkan, bukan aku, bukan kamu, bukan kita.
Andai.
Kadang aku berpikir, andai kita tak mengenal ego. Mungkin kita masih bisa bersama. Mengobrol berdua hingga pagi tiba. Memberi peluk dan cium mesra pada yang terlelap pertama.
Lagi.
Dering telponku membuatku sadar dari lamunan.
Pesan itu kuterima lagi.
Dengan isi yang sama. Dengan pengirim yang sama.
Hanya,"Sudah saatnya".
Tanya.
Apakah pesan ini memang untukku?
Iya.
Entah iya atau bukan.
Tapi aku mengerti kalimat itu.
Memang, sudah saatnya.
Sudah saatnya. Aku pergi. Dari masa lalu. Menuju masa depan.
Sudah saatnya. Aku melangkah lagi. Menghapus kenangan. Menuju kebahagiaan.
N.b.:
Tulisan ini terinspirasi dari pesan salah sambung berisi kalimat "sudah saatnya", serta didukung oleh suasana H-5 UN yang sejuk. Di depan kelas penuh kenangan.
Jangan lupa ngomen ya, tapi ngomennya jangan di lampu merah, entar di Razia SatPol PP. Ciao!